Author: Susiana
Rusanti
Sebetulnya
sudah sepatutnya kami para siswa perguruan berterima kasih atas
kemunculan Equitas Club, meski dampaknya tidak secara langsung. Jauh
sebelum Klub didirikan di tahun 2006, perguruan sudah ada. Saya
masih ingat betul bagaimana pelatih saya di awal pertemuan
menawarkan bimbingan menuju kesuksesan dengan tanpa dipungut biaya
apa apa. Sudah tentu saya tidak menampiknya. Mulailah kemudian
pelatihan di mulai, minggu ke ketemu minggu, bulan ke
bulan hingga tahun ke tahun. Saya tidak pernah menanyakan waktu itu
apakah sudah ada dari yang dilatih itu berhasil meraih impiannya.
Sebab saya tahu betul saya termasuk pilot project dengan kata lain
‘merintis’. Tidak jarang dalam kurun waktu itu ada bertanya
tanya dalam hati saya apakah pelatihan ini betul akan menggiring
saya ke kesuksesan. Istilah orang Sunda – pamali. Saya hanya
dengar cerita dari coach mengenai Yuningsih Ambar, sisinya di Ambon
yang berhasil mencapai Financial Independent di th 1996 dan itupun
tahunya secara kebetulan saya melihat foto foto waktu recognition
mbak Ningsih yang dirayakan sederhana dengan keluarganya dan saya
melihat ada coach saya di foto itu. Coach saya kalau soal hal hal
seperti ini sangat tertutup. Beliau berprinsip ‘kalau mau belajar,
seriuslah, tanpa harus lihat kanan kiri’. Komentar serupa itu juga
waktu saya pernah utarakan keinginan saya untuk bertemu mbak
Ningsih. Saya malah dihujani pertanyan:”Lalu kalau Susi sudah
ketemu dia, Ningsih, lalu bagaimana? What next?” “Apakah dengan
ketemu Ningsih berakibat Susi bisa ketularan menjadi FI?” dan
masih banyak pertanyaan lain lagi yang akhirnya membatalkan niat
saya ketemu kakak seperguruan saya.
![]() |
| Yuningsih |
Sistem
di perguruan Uni-Syn memang dirancang seperti itu – Cell System.
Setiap siswa hanya boleh tahu pelatihnya langsung (Direct Coach).
Kebetulan pelatih saya tidak punya pelatih lagi. Tapi waktu saya
mengangkat Zizette Mahmoud sebagai murid, dia dulunya hanya tahu 1
orang saja, yaitu saya. Berturut turut selanjutnya. Sewaktu Zizette
mengangkat Ashraf sebagai siswa, harusnya dia hanya tahu Zizette
sebagai coach. Hanya kebetulan saja Ashraf kenal saya dulu kemudian
saya kenalkan Zizette sebagai coach buat dirinya.Selalu begitu.
Praktis dulunya saya tidak mengenal siapa itu Setia Kelana, siapa
Dewi Ratna dan siapa siapa lagi yang sekarang mereka menjadi kolega
saya di Unisyn
Setelah
Equitas Club berdiri dan berjalan sekitar 6 bulan secara kebetulan
saja saya tahu bahwa coach bersama beberapa temannya mendirikan
suatu Klub yang berorientasi pendanaan. Bagaimana secara
kebetulannya? Hubungan saya dengan coach cukup dekat dan akrab,
sudah seperti saudara dan lucunya ayah kandung saya sempat mau
menjodohkan saya dengan beliau. Jadinya saya cukup tahu kalau dia
sedang ada masalah. Meski kalau ditanya dia bilang tidak apa apa
tapi saya hafal karakternya dan pasti itu artinya ada apa apa. Saya
akhirnya berinisiatif mengusut sendiri, baik secara mata biasa
maupun kasat mata. Ketahuan deh. Seperti detektif saja tanpa setahu
dia saya cari, lacak nama dan nomor nomor telpon siswa siswanya.
Saya hubungi satu per satu. Secara diam diam juga saya kumpulkan
semua, saya masih ingat waktu itu di Hotel Indonesia, dulu belum
Kepinski. Disitulah awal saya berkenalan dengan Shoba, Setia,
Innelita dan beberapa lagi. Tidak serempak semua bisa saya
kumpulkan, tapi secara bertahap. Kami sepakat, kompak berbuat
sesuatu untuk Aki, sebutan coach kami. Kemudian motto kami: we’re the Q – Veni,Vidi,
Vici; We come, We see, We Win!

Awal
kemunculan kami yang seakan akan go public sudah tentu tidak
disukai coach kami karena jelas bertentangan dengan karakter
perguruan, yang segala sesuatunya harus dalam keadaan isolatif.
Namun beliau juga tidak bisa apa apa setelah melihat ada juga efek
positifnya dari kami para siswa ini menjadi saling mengenal dengan
saudara saudara seperguruan.
Tahun
demi tahun terus berjalan dan tak terasa sudah 5 tahun sejak kami
siswa perguruan dikumpulkan (oleh saya). Sampai sejalan dengan
waktu perubahanpun terjadi. Jika dulunya kami infiltrasi masuk ke
Equitas Club, akhirnya kami hengkang dari sana dan membentuk
organisasi tersendiri yang justru berdampak positif bagi perguruan,
yakni adanya koordinasi pelatihan yang selama ini tidak ada. Dengan
terbentuknya organisasi itu juga artinya perguruan mempunyai
administrasi, manajemen dsb. Namun perlahan lahan kami semua
menyadari, lebih tepatnya disadarkan oleh kakak ke 1 paling senior
diantara kami, zust Dewi Ratna. Dewi mengingatkan kami bahwa bukan
seperti inilah sebetulnya visi dan misi perguruan di tahun awal
pembentukan. Kemudian Dewi menghimbau agar kami kembali ke track
semula, bagaimana bentuk perguruan di tahun tahun 1990an.
Demikianlah,
perguruan mungkin bisa dibilang mencapai titik nadir dalam hal
organisasi (bukan aspek kesuksesan). Kami sepakat untuk Back to
Square 1, situasi dimana segala sesuatunya sengaja dibuat DISCREET.
Meski tidak dilakukan drastis, bertahap, tetapi perlahan lahan yang
pasti. Artinya dari sekarang ke depannya akan sulit bagi kami para
siswa untuk saling bertemu muka satu sama lainnya. Cukuplah kami
bertemu muka dengan Direct Coach dan itu sudah lebih dari cukup.
Dewi bahkan menawarkan pilihan yang bagi kami bukanlah pilihan:
Bertemu muka dengan (Direct) Coach tidak ketemu dengan sesama siswa
ATAU SEBALIKNYA. Sudah pasti kami pilih yang pertama sebab bagi
semua siswa perguruan coach adalah segala galanya. Sampai ada motto
diantara kami:”Your Coaches Line is your Life Line”, sampai
begitu. Namun dibalik itu semua memang tidak ada faedahnya secara
wisdom bertemu/tatap muka dengan sesama kami. Kami ini saling CROSS
CREW. Demikianlah. Meskipun bukan berarti jika tanpa
sengaja bertemu (It’s a small world), kami saling menghindar,
jelas bukan. Tapi Cross Crew melarang kami untuk menyengaja
melakukan demikian. Sedih, memang. Saya masih mungkin bertemu siswa
siswi saya seperti Maribel, Zizette dan mungkin Ashraf. Juga masih
mungkin bertemu Aylen, Dewi karena urusan organisasi. Namun saya
tidak tahu lagi kapan bisa ketemu dengan Butch, Yvonne, mbak
Ningsih.
Byla
ne byla
There
was — there wasn't; Whatever the consequences can be — I'll try
it!




