Thursday, November 20, 2003

Cell System


Author: Susiana Rusanti


    Sebetulnya sudah sepatutnya kami para siswa perguruan berterima kasih atas kemunculan Equitas Club, meski dampaknya tidak secara langsung. Jauh sebelum Klub didirikan di tahun 2006, perguruan sudah ada. Saya masih ingat betul bagaimana pelatih saya di awal pertemuan menawarkan bimbingan menuju kesuksesan dengan tanpa dipungut biaya apa apa. Sudah tentu saya tidak menampiknya. Mulailah kemudian pelatihan di mulai, minggu  ke ketemu minggu, bulan ke bulan hingga tahun ke tahun. Saya tidak pernah menanyakan waktu itu apakah sudah ada dari yang dilatih itu berhasil meraih impiannya. Sebab saya tahu betul saya termasuk pilot project dengan kata lain ‘merintis’. Tidak jarang dalam kurun waktu itu ada bertanya tanya dalam hati saya apakah pelatihan ini betul akan menggiring saya ke kesuksesan. Istilah orang Sunda – pamali. Saya hanya dengar cerita dari coach mengenai Yuningsih Ambar, sisinya di Ambon yang berhasil mencapai Financial Independent di th 1996 dan itupun tahunya secara kebetulan saya melihat foto foto waktu recognition mbak Ningsih yang dirayakan sederhana dengan keluarganya dan saya melihat ada coach saya di foto itu. Coach saya kalau soal hal hal seperti ini sangat tertutup. Beliau berprinsip ‘kalau mau belajar, seriuslah, tanpa harus lihat kanan kiri’. Komentar serupa itu juga waktu saya pernah utarakan keinginan saya untuk bertemu mbak Ningsih. Saya malah dihujani pertanyan:”Lalu kalau Susi sudah ketemu dia, Ningsih, lalu bagaimana? What next?” “Apakah dengan ketemu Ningsih berakibat Susi bisa ketularan menjadi FI?” dan masih banyak pertanyaan lain lagi yang akhirnya membatalkan niat saya ketemu kakak seperguruan saya.
    Yuningsih
    Sistem di perguruan Uni-Syn memang dirancang seperti itu – Cell System. Setiap siswa hanya boleh tahu pelatihnya langsung (Direct Coach). Kebetulan pelatih saya tidak punya pelatih lagi. Tapi waktu saya mengangkat Zizette Mahmoud sebagai murid, dia dulunya hanya tahu 1 orang saja, yaitu saya. Berturut turut selanjutnya. Sewaktu Zizette mengangkat Ashraf sebagai siswa, harusnya dia hanya tahu Zizette sebagai coach. Hanya kebetulan saja Ashraf kenal saya dulu kemudian saya kenalkan Zizette sebagai coach buat dirinya.Selalu begitu. Praktis dulunya saya tidak mengenal siapa itu Setia Kelana, siapa Dewi Ratna dan siapa siapa lagi yang sekarang mereka menjadi kolega saya di Unisyn

    Setelah Equitas Club berdiri dan berjalan sekitar 6 bulan secara kebetulan saja saya tahu bahwa coach bersama beberapa temannya mendirikan suatu Klub yang berorientasi pendanaan. Bagaimana secara kebetulannya? Hubungan saya dengan coach cukup dekat dan akrab, sudah seperti saudara dan lucunya ayah kandung saya sempat mau menjodohkan saya dengan beliau. Jadinya saya cukup tahu kalau dia sedang ada masalah. Meski kalau ditanya dia bilang tidak apa apa tapi saya hafal karakternya dan pasti itu artinya ada apa apa. Saya akhirnya berinisiatif mengusut sendiri, baik secara mata biasa maupun kasat mata. Ketahuan deh. Seperti detektif saja tanpa setahu dia saya cari, lacak nama dan nomor nomor telpon siswa siswanya. Saya hubungi satu per satu. Secara diam diam juga saya kumpulkan semua, saya masih ingat waktu itu di Hotel Indonesia, dulu belum Kepinski. Disitulah awal saya berkenalan dengan Shoba, Setia, Innelita dan beberapa lagi. Tidak serempak semua bisa saya kumpulkan, tapi secara bertahap. Kami sepakat, kompak berbuat sesuatu untuk Aki, sebutan coach kami.  Kemudian motto kami: we’re the Q – Veni,Vidi, Vici; We come, We see, We Win!
    Image result for veni vidi vici picture

    Sejak itulah kami juga mengenal teman teman anggota Klub dari kelompok yang lain seperti Midori, Avalokiteshvara dll.
    Awal kemunculan kami yang seakan akan go public sudah tentu tidak disukai coach kami karena jelas bertentangan dengan karakter perguruan, yang segala sesuatunya harus dalam keadaan isolatif. Namun beliau juga tidak bisa apa apa setelah melihat ada juga efek positifnya dari kami para siswa ini menjadi saling mengenal dengan saudara saudara seperguruan.
    Tahun demi tahun terus berjalan dan tak terasa sudah 5 tahun sejak kami siswa perguruan dikumpulkan (oleh saya). Sampai sejalan dengan waktu perubahanpun terjadi. Jika dulunya kami infiltrasi masuk ke Equitas Club, akhirnya kami hengkang dari sana dan membentuk organisasi tersendiri yang justru berdampak positif bagi perguruan, yakni adanya koordinasi pelatihan yang selama ini tidak ada. Dengan terbentuknya organisasi itu juga artinya perguruan mempunyai administrasi, manajemen dsb. Namun perlahan lahan kami semua menyadari, lebih tepatnya disadarkan oleh kakak ke 1 paling senior diantara kami, zust Dewi Ratna. Dewi mengingatkan kami bahwa bukan seperti inilah sebetulnya visi dan misi perguruan di tahun awal pembentukan. Kemudian Dewi menghimbau agar kami kembali ke track semula, bagaimana bentuk perguruan di tahun tahun 1990an.

    Demikianlah, perguruan mungkin bisa dibilang mencapai titik nadir dalam hal organisasi (bukan aspek kesuksesan). Kami sepakat untuk Back to Square 1, situasi dimana segala sesuatunya sengaja dibuat DISCREET. Meski tidak dilakukan drastis, bertahap, tetapi perlahan lahan yang pasti. Artinya dari sekarang ke depannya akan sulit bagi kami para siswa untuk saling bertemu muka satu sama lainnya. Cukuplah kami bertemu muka dengan Direct Coach dan itu sudah lebih dari cukup. Dewi bahkan menawarkan pilihan yang bagi kami bukanlah pilihan: Bertemu muka dengan (Direct) Coach tidak ketemu dengan sesama siswa ATAU SEBALIKNYA. Sudah pasti kami pilih yang pertama sebab bagi semua siswa perguruan coach adalah segala galanya. Sampai ada motto diantara kami:”Your Coaches Line is your Life Line”, sampai begitu. Namun dibalik itu semua memang tidak ada faedahnya secara wisdom bertemu/tatap muka dengan sesama kami. Kami ini saling CROSS CREW. Demikianlah.  Meskipun bukan berarti jika tanpa sengaja bertemu (It’s a small world), kami saling menghindar, jelas bukan. Tapi Cross Crew melarang kami untuk menyengaja melakukan demikian. Sedih, memang. Saya masih mungkin bertemu siswa siswi saya seperti Maribel, Zizette dan mungkin Ashraf. Juga masih mungkin bertemu Aylen, Dewi karena urusan organisasi. Namun saya tidak tahu lagi kapan bisa ketemu dengan Butch, Yvonne, mbak Ningsih.
    Semua itu karena masing masing dari kami sudah punya misi sendiri sendiri yang cukup membuat kami sangat sibuk setiap harinya. Kami harus selalu memilih, sebagaimana seluruh manusia di bumi ini. Hidup adalah pilihan.

    Byla ne byla
    There was — there wasn't; Whatever the consequences can be — I'll try it!
  • Image result for Byla ne byla

0 comments:

Post a Comment